Kau Tanam dan Kau Tuai


Kisah Cekky berbanding terbalik dengan kisah kedua putra kembar berikut ini. Sebut saja nama keduanya adalah Cico dan Cica. Mereka amat beruntung. Lahir dalam keluarga yang kaya dan terpelajar. Kerapkali dimanjakan dengan keunggulan produk sains modern.

Masing2 memiliki rumah bagai istana, mobil bermerk, laptop canggih, handphone berkelas. Kalau soal uang, bank Centry akan kalah saing. Pendeknya, soal harta amat berlimpah sulit dicari tandingannya. Keduanya juga tidak mungkin mangkir dari fenomena manusia Adam modern yakni memiliki "simpanan" diberbagai gudang, yang kapan saja dapat dipakai sesuka hati.

Dalam kehdiupan ini, kadang berlaku juga petitih oma-opa:

"Keberuntungan dapat direncanakan, tetapi malang tak dapat dikekang".

Kedua orang tua manusia kembar itu direnggut maut dalam sebuah kecelakaan pesawat Jakarta-Makasar, nyaris bersamaan dengan rumah mewah mereka yang dilahap si jago merah. Siapa sangka, kedua peristiwa yang mengenaskan itu disusul pula aksi perampokan bank oleh segelintir manusia nekat.

Uang yang mereka simpan di bank pun terbang melayang tanpa tau dimana jatuhnya. Seakan ditutup secara sempurna oleh huru-hara praktek mafia peradilan, bersamaan pula dengan pola tingkah elite politik, yang berlagak dewasa dengan mental taman kanak-kanak saling sikut dan sikat tanpa tata krama tentunya.

Bagaimana kau melukiskan suasana batin kedua manusia kembar yang dimanja dengan harta itu? Tulang-tulang lunglai bagai tak bersum-sum, hati mereka bagai disengat kalajengking, telinga mereka seakan pekak disambar gelegarnya petir dan halilintar, mata mereka seakan kabur disiram cabe rawit, jiwa mereka remuk bagai kaca pecah berantakan karena gempa dasyat yang tak terukur. Semua yang sudah dialami berlalu bagai mimpi. Kini tinggal angan dan kenangan.

Manusia, sekarat sekalipun, tetap mampu berkata: untung. Untung mereka masih punya dua hal. Pertama, angan dalam kenangan. Keduanya mengangankan kenangan yang pernah mereka alami akan terulang secara sempurna. Kedua, cerita meraih angan-angan. Manusia kembar tersebut pernah mendengar kisah Cekky yang berusaha keras untuk meraih apa yang diangan-angankannya.

Ingin menjadi seperti Si Cekky? Tentu. Hem....dari mana memulainya? Selang beberapa bulan dari peristiwa pahit yang mereka alami, hari ini keduanya menghadap Sang Guru.

"Guru kami mau menjadi pertapa, berikanlah petunjuk", sahut keduanya nyaris bersamaan.

"Menjadi pertapa bukanlah model hidup yang cocok untuk kalian", sahut Sang Guru.

"Benar Guru. Kami mau meninggalkan indahnya hidup dunia ini. Kami mau menjadi pertapa. Hidup jauh dari keramaian dan kegaduhan yang tak perlu. Kami mau hidup tenang dan damai. Kami mau menghabiskan sisa hidup kami dalam doa dan puasa untuk keselamatan umat manusia". Timpal Cico, dan diiyakan oleh si bungsu.

"Baiklah. Walaupun aku sedikit ragu, tetapi dalam perjalanan waktu akan teruji juga kesungguhan kata-kata kalian. Karena itu dengarkan saya: Pergilah ke gunung Sion. Di sana kamu dapat berdoa dan berpuasa demi keselamatan umat manusia. Kalian berdua akan selamat dan bahagia melebihi kebahagiaan dan keindahan yang pernah kalian alami".

"Apa saja syaratnya sang Guru", tanya si Cica.

"Pertama: Sebelum berangkat berdoalah. Lalu Ikutlah jalan ke arah perbukitan gunung Sion.

Kedua: Pancarkan matamu hanya untuk melihat ke depan, bukan kesamping, atau belakang jangan.

Ketiga: Jangan membawa bekal apa pun.

Keempat: Langkahkan kakimu untuk berjalan hanya ke depan, bukan ke belakang

Kelima: Ulurkanlah tanganmu hanya untuk memberi, bukan untuk mengambil.

Keenam: Biarkan hatimu hanya diisi pengharapan bahwa engkau akan tiba di tujuan dengan selamat

Ketujuh: Jangan biarkan bibir dan perutmu mengeluh sebab keluhan mendatangkan kegelapan

Kedelapan: Pikiranmu hanya bertugas untuk menjaga ketujuh jalan itu."

Tentu saja berat. Orang yang terbiasa berdoa saja masih sulit untuk berdoa, apalagi mereka yang baru mau mulai. Orang2 yang sudah terbiasa melihat hanya ke depan saja masih susah untuk terus terarah ke depan. Pendeknya, pekerjaan itu luar biasa sulit, butuh perjuangan dan kesabaran, serta kedisiplinan tinggi. Namun, mereka telah sepakat dan bertekad bulat. Naluri kepahlawanan mereka tiba2 saja menggelora. Ini lebih didorong oleh pengalaman pahit yang mereka alami sebelumnya. Rasa rindu akan ketenangan dan kedamaian akan terasa sangat membara dan meledak-ledak.

Hari keberangkatn telah tiba. Mereka pun berangkat, berlangkah dengan pasti. Hari pertama mereka lalui dengan baik. Demikian juga dengan hari kedua. Pada hari ketiga mereka ditawarkan pelbagai makanan lezat. Namun mereka dapat mengatasinya dengan amat baik.

"Jangan biarkan bibir dan perutmu mengeluh", tergiang pesan sang Guru. Sampailah mereka pada hari yang menegangkan. Tinggal sehari lagi mereka akan tiba ditempat yang dituju. Kaki sudah lelah. Bibir dan perut sudah keluh. Pikiran tak kuat lagi untuk menjaga. Tepat pada saat yang genting ini keduanya berhadapan dengan sesosok jasad wanita yang sangat cantik. Di lehernya bergantung kalung terbuat dri intan dan berlian. Di tangannya melingkar gelang-gelang emas dan permata. Di jari-jari jazad putri maha kaya itu terselip dengan manisnya cincin-cincin indah menawan. Kontan saja kaki keduanya berhenti berlangkah. Mata mereka merunduk ke bawah. Tangan pun diulurkan.

Cico: "Hei...hei....Cica, ingat pesan guru. Jangan mengambil apa pun. Ingat itu!".

Cica: "Ah...abang salah menafsirkan pesan guru. Pakai akal dunk. Bayangin ya...Kita ini udah lapar. Apa salahnya kalau kita ambil, lalu ditukar dengan nasi? Bukankah orang yang akan menerimanya akan sangat tertolong? Dia akan menjadi kaya. Ia kan...?

Cico: Bener juga katamu, Cica! Lagian ini kan mayat. Sayang kalau seluruh perhiasan yang ada dibadannya terbuang percuma. memang lebih baik kita ambil, lalu diberi kepada orang-orang miskin".

Akhirnya mereka mengambil semua perhiasan itu. Kalung dipakaikan di leher Cico, sedangkan Gelang di tangan Cica. Cincin, sesuai kesepakatan, mereka tukarkan dengan nasi. Warung nasi ada di seberang jembatan. Tugas itu dipercayakan kepada Cica. Ia pun pergi. Sementara Cica pergi, kini Cico dihadapkan dengan bayangan masa lalu yang begitu menakjubkan.

"Kalung yang ada dileher ini dapat kupakai untuk mengembalikan apa yang telah hilang. Tetapi tidak cukup. Bagaimana kalau ditambah dengan gelang2 yang ada di tangan Cica? Wah......sangat lebih dari cukup. tetapi bagaimana caranya agar apa yang ada ditangan Cica akhirnya menjadi milikku semuanya"

Itulah percakapan hatinya. Ia kemudian menemukan akal:

"Tiang2 jembatan itu musti dipotong hingga nyaris rubuh. Begitu Cica berjalan di atasnya, tiang2 itu akan rubuh. Gelang yang ada di tangan Cica akan menjadi milikku seorang. Sempurna. Thanks oh my God"

Semua berjalan seperti yang direncanakan. Kini Cica tiba di mulut jembatan. Ia berhenti karena teriakan Cico.

"Kau lempar saja nasi itu. Baru kemudian menyeberang".

"Baiklah", sahut Cica.

"Terimakasih atas nasi bungkusnya ya, hati-hati melewati jembatan itu!"

Setengah dari jembatan itu dilewati dengan baik. Memasuki setengah bagian sisanya terdengar bunyi "krak...krak...krak...' dan dalam hitungan detik, rubuhlah jembatan itu. Nyawa Cica pun tak tertolong lagi. Sementara peristiwa itu berlangsung, Cico melahap nasi yang sudah dibelikan Cica. Ia tersenyum. Rasa lapar terusir. Harta kekayan terbentang di depan mata. Tetapi nenek bilang:

"Keberuntungan dapat direncanakan, tetapi maut tak dapat dikekang". Selang 15 menit kemudian, Cico merasa mual dan mual....muntah....dan muntah....darah segar mengalir.....mata berkunang....apa hendak dikata. Ia pun mereganag nyawa. Semua yang diangankan pergi bersama nyawanya melayang.

Apa sebenarnya terjadi, ternyata selama pergi menukar cincin di warung nasi, Cica pun berpikir keras, persis seperti apa yang diangankan Cico. Ia lalu menabur bubuk racun maut dalam nasi yang akan disantap Cico. Keduanya meregang nyawa tanpa ampun oleh hasrat mereka sendiri.

"Jika kau merencanakan kejahatan untuk sesamamu, pada saat yang bersamaan kejahatan juga sedang dirancang untukmu. Demikian juga sebaliknya, jika kebaikan kau rancang untuk sesamamu, maka pada saat yang bersamaan pula kebaikan sedang dirancang untukmu.".

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka [Mat 7:12]

Tulisan ini dibuat oleh: Pastor Eriks Ng Oba (Pastor Paroki 

Kau Tanam dan Kau Tuai