Sepucuk Surat

Sepucuk Surat

Perjuangan yang pahit, kerapkali merupakan awal dari kepahitan yang tak terlukiskan tetapi berakhir sukacita. Kebanyakan orang mau menghindarinya karena menganggap bahwa hal itu menyakitkan. Hal itu sangat wajar dan manusiawi. Namun lebih wajar lagi sekiranya hal itu diterima dan dihadapi dengan segala kemampuan yang ada.

Pepatah mengatakan bahwa "Kereta api hanya dapat berjalan pada relnya." Orang yang mau mengirim sepucuk surat via kereta api, dia mesti pergi ke stasiun kereta api. Adalah salah kalau dia berjalan menuju tempat pemberangkatan mobil".


Andaikan kau percaya bahwa Tuhan menyelenggarakan seluruh kenyataan hidupmu, atau sekurang-kurangnya, Dia selalu mendidikmu agar sesuai dengan apa yang Ia kehendaki, maka kau sudah sewajarnya melihat realitas hidupmu sebagai bagian dari rencanaNya.

Kau akan tahu bahwa rencana Tuhan selalu baik dan benar untukmu. Anggaplah "perjuanganmu yang pahit" adalah sepucuk surat yang harus kau bawa ke tempat tujuannya, maka itu berarti Dia yang mengirimnya kepadamu tahu bahwa kau dapat membawanya. Berilah sedikit harapan bahwa isi surat itu adalah "sebuah perintah kepada penerima surat itu agar dia menyerahkan sebuah cek miliaran rupiah kepadamu dan cek itu menjadi milikmu yang akan mengubah seluruh penderitaanmu menjadi sukacita dan kecukupan bagi hidupmu".

Engkau dapat membayangkan betapa hatimu sangat kecewa bila kau tidak mau membawa surat itu kepada pemiliknya dan kau tahu bahwa isinya ternyata sebuah perintah berharga untuk kehidupanmu. Demikian juga dengan perjuangan pahitmu adalah sebuah keharusan, yang justru akan mengubah warna hidumu menjadi sukacita dan kemuliaan.

Tulisan ini dibuat oleh: Pastor Eriks Ng Oba
Baca selengkapnya »
Mendaki Gunung Sinabung

Mendaki Gunung Sinabung

Ada Tiga sekawan, sebut saja namanya Coky, Ciky dan Cekky, mereka diminta oleh guru untuk menaklukkan puncak gunung Sinabung. Konon menurut Sang Guru, di atas puncak gunung itu tersimpan harta karun para leluhur masyarakat Tanah Karo, utamanya Emas.

Banyak orang berminat dan berusaha mendapatkannya. Sayangnya semua gagal dan malah ada yang meregang nyawa karena kelelahan dan hawa dingin yang menyengat sum-sum dan paru-paru.


Semula, tiga sekawan itu ragu, namun Guru mereka meyakinkan ketiganya bahwa puncak Gunung Sinabung dapat ditaklukkan dan seluruh harta karun yang tersimpan di sana dapat diambil. Syaratnya, setiap orang yg mau menaklukkannya, harus terlebih dahulu berpuasa dan berdoa, demikian menurut Sang Guru

Setelah menjalani puasa dan doa secara ketat, hari yang ditunggu pun tiba. Petuah Sang Guru kali ini sedikit nyentrik dan tak biasa: "Masing-masing kalian harus mendaki sambil memikul batu. Sangat diajurkan memikul batu besar." Tiga sekawan itu tentu saja heran. Sudah disuruh puasa, eh...saat mendaki masih diperintah melakukan ini dan itu. Celakanya, pakai: "sangat diajurkan memikul batu besar".

Ketiganya mulai mendaki. Karena memikul batu besar berupa anjuran, maka, Cokky dan Cikky hanya memikul batu kecil sebesar kepalan tangan mereka, sementara Cekky memikul batu sebesar kepalanya. Dapat dipastikan bahwa kedua kawan yang memikul batu kecil tiba lebih dahulu di puncak gunung. Dengan seluruh kemampuan yang ada dan tenaga yang tersisa, Cekky tiba juga dipuncak gunung. Mengherankan ketiganya, ternyata gak ada harta karun sebagaimana digembar-gemborkan banyak orang selama ini. Jangankan emas, beling saja tidak.

Belum selesai rasa heran karena harta karun tak ada, muncul rasa heran berikutnya [dan tak terbayangkan sebelumnya]. Ternyata Guru mereka sudah lebih dulu tiba di sana. "Baiklah....kalian sudah tiba di sini. Itu berarti kalian berhak mendapatkan apa yang kalian usahakan. Ak minta batu yg kalian bawa diletakkan di depan kakimu. Kini lihatlah batu yang kau bawa menjadi bongkahan emas bagimu karena perjuangan yang tak kenal menyerah". Cekky pulang dengan harta yang berlimpa dan dengan sukacita yang tak terkatakan, sedangkan yang lainnya itu tidak.

Demkianlah, kerasnya perjuanganmu dan beratnya beban yang kau pikul pertama-tama haruslah dipastikan bahwa hal itu terjadi karena kau setia pada ajakan Tuhanmu. Dia akan mengubah semuanya itu menjadi sukacita dan kemuliaan bagimu di negeri yang akan kau diami bersama Dia. Segala sesuatu yang karena nama Tuhanmu akan indah pada waktunya. Tuhan memberkatimu.


Tulisan ini dibuat oleh: Pastor Eriks Ng Oba
Baca selengkapnya »
Kau Tanam dan Kau Tuai

Kau Tanam dan Kau Tuai


Kisah Cekky berbanding terbalik dengan kisah kedua putra kembar berikut ini. Sebut saja nama keduanya adalah Cico dan Cica. Mereka amat beruntung. Lahir dalam keluarga yang kaya dan terpelajar. Kerapkali dimanjakan dengan keunggulan produk sains modern.

Masing2 memiliki rumah bagai istana, mobil bermerk, laptop canggih, handphone berkelas. Kalau soal uang, bank Centry akan kalah saing. Pendeknya, soal harta amat berlimpah sulit dicari tandingannya. Keduanya juga tidak mungkin mangkir dari fenomena manusia Adam modern yakni memiliki "simpanan" diberbagai gudang, yang kapan saja dapat dipakai sesuka hati.

Dalam kehdiupan ini, kadang berlaku juga petitih oma-opa:

"Keberuntungan dapat direncanakan, tetapi malang tak dapat dikekang".

Kedua orang tua manusia kembar itu direnggut maut dalam sebuah kecelakaan pesawat Jakarta-Makasar, nyaris bersamaan dengan rumah mewah mereka yang dilahap si jago merah. Siapa sangka, kedua peristiwa yang mengenaskan itu disusul pula aksi perampokan bank oleh segelintir manusia nekat.

Uang yang mereka simpan di bank pun terbang melayang tanpa tau dimana jatuhnya. Seakan ditutup secara sempurna oleh huru-hara praktek mafia peradilan, bersamaan pula dengan pola tingkah elite politik, yang berlagak dewasa dengan mental taman kanak-kanak saling sikut dan sikat tanpa tata krama tentunya.

Bagaimana kau melukiskan suasana batin kedua manusia kembar yang dimanja dengan harta itu? Tulang-tulang lunglai bagai tak bersum-sum, hati mereka bagai disengat kalajengking, telinga mereka seakan pekak disambar gelegarnya petir dan halilintar, mata mereka seakan kabur disiram cabe rawit, jiwa mereka remuk bagai kaca pecah berantakan karena gempa dasyat yang tak terukur. Semua yang sudah dialami berlalu bagai mimpi. Kini tinggal angan dan kenangan.

Manusia, sekarat sekalipun, tetap mampu berkata: untung. Untung mereka masih punya dua hal. Pertama, angan dalam kenangan. Keduanya mengangankan kenangan yang pernah mereka alami akan terulang secara sempurna. Kedua, cerita meraih angan-angan. Manusia kembar tersebut pernah mendengar kisah Cekky yang berusaha keras untuk meraih apa yang diangan-angankannya.

Ingin menjadi seperti Si Cekky? Tentu. Hem....dari mana memulainya? Selang beberapa bulan dari peristiwa pahit yang mereka alami, hari ini keduanya menghadap Sang Guru.

"Guru kami mau menjadi pertapa, berikanlah petunjuk", sahut keduanya nyaris bersamaan.

"Menjadi pertapa bukanlah model hidup yang cocok untuk kalian", sahut Sang Guru.

"Benar Guru. Kami mau meninggalkan indahnya hidup dunia ini. Kami mau menjadi pertapa. Hidup jauh dari keramaian dan kegaduhan yang tak perlu. Kami mau hidup tenang dan damai. Kami mau menghabiskan sisa hidup kami dalam doa dan puasa untuk keselamatan umat manusia". Timpal Cico, dan diiyakan oleh si bungsu.

"Baiklah. Walaupun aku sedikit ragu, tetapi dalam perjalanan waktu akan teruji juga kesungguhan kata-kata kalian. Karena itu dengarkan saya: Pergilah ke gunung Sion. Di sana kamu dapat berdoa dan berpuasa demi keselamatan umat manusia. Kalian berdua akan selamat dan bahagia melebihi kebahagiaan dan keindahan yang pernah kalian alami".

"Apa saja syaratnya sang Guru", tanya si Cica.

"Pertama: Sebelum berangkat berdoalah. Lalu Ikutlah jalan ke arah perbukitan gunung Sion.

Kedua: Pancarkan matamu hanya untuk melihat ke depan, bukan kesamping, atau belakang jangan.

Ketiga: Jangan membawa bekal apa pun.

Keempat: Langkahkan kakimu untuk berjalan hanya ke depan, bukan ke belakang

Kelima: Ulurkanlah tanganmu hanya untuk memberi, bukan untuk mengambil.

Keenam: Biarkan hatimu hanya diisi pengharapan bahwa engkau akan tiba di tujuan dengan selamat

Ketujuh: Jangan biarkan bibir dan perutmu mengeluh sebab keluhan mendatangkan kegelapan

Kedelapan: Pikiranmu hanya bertugas untuk menjaga ketujuh jalan itu."

Tentu saja berat. Orang yang terbiasa berdoa saja masih sulit untuk berdoa, apalagi mereka yang baru mau mulai. Orang2 yang sudah terbiasa melihat hanya ke depan saja masih susah untuk terus terarah ke depan. Pendeknya, pekerjaan itu luar biasa sulit, butuh perjuangan dan kesabaran, serta kedisiplinan tinggi. Namun, mereka telah sepakat dan bertekad bulat. Naluri kepahlawanan mereka tiba2 saja menggelora. Ini lebih didorong oleh pengalaman pahit yang mereka alami sebelumnya. Rasa rindu akan ketenangan dan kedamaian akan terasa sangat membara dan meledak-ledak.

Hari keberangkatn telah tiba. Mereka pun berangkat, berlangkah dengan pasti. Hari pertama mereka lalui dengan baik. Demikian juga dengan hari kedua. Pada hari ketiga mereka ditawarkan pelbagai makanan lezat. Namun mereka dapat mengatasinya dengan amat baik.

"Jangan biarkan bibir dan perutmu mengeluh", tergiang pesan sang Guru. Sampailah mereka pada hari yang menegangkan. Tinggal sehari lagi mereka akan tiba ditempat yang dituju. Kaki sudah lelah. Bibir dan perut sudah keluh. Pikiran tak kuat lagi untuk menjaga. Tepat pada saat yang genting ini keduanya berhadapan dengan sesosok jasad wanita yang sangat cantik. Di lehernya bergantung kalung terbuat dri intan dan berlian. Di tangannya melingkar gelang-gelang emas dan permata. Di jari-jari jazad putri maha kaya itu terselip dengan manisnya cincin-cincin indah menawan. Kontan saja kaki keduanya berhenti berlangkah. Mata mereka merunduk ke bawah. Tangan pun diulurkan.

Cico: "Hei...hei....Cica, ingat pesan guru. Jangan mengambil apa pun. Ingat itu!".

Cica: "Ah...abang salah menafsirkan pesan guru. Pakai akal dunk. Bayangin ya...Kita ini udah lapar. Apa salahnya kalau kita ambil, lalu ditukar dengan nasi? Bukankah orang yang akan menerimanya akan sangat tertolong? Dia akan menjadi kaya. Ia kan...?

Cico: Bener juga katamu, Cica! Lagian ini kan mayat. Sayang kalau seluruh perhiasan yang ada dibadannya terbuang percuma. memang lebih baik kita ambil, lalu diberi kepada orang-orang miskin".

Akhirnya mereka mengambil semua perhiasan itu. Kalung dipakaikan di leher Cico, sedangkan Gelang di tangan Cica. Cincin, sesuai kesepakatan, mereka tukarkan dengan nasi. Warung nasi ada di seberang jembatan. Tugas itu dipercayakan kepada Cica. Ia pun pergi. Sementara Cica pergi, kini Cico dihadapkan dengan bayangan masa lalu yang begitu menakjubkan.

"Kalung yang ada dileher ini dapat kupakai untuk mengembalikan apa yang telah hilang. Tetapi tidak cukup. Bagaimana kalau ditambah dengan gelang2 yang ada di tangan Cica? Wah......sangat lebih dari cukup. tetapi bagaimana caranya agar apa yang ada ditangan Cica akhirnya menjadi milikku semuanya"

Itulah percakapan hatinya. Ia kemudian menemukan akal:

"Tiang2 jembatan itu musti dipotong hingga nyaris rubuh. Begitu Cica berjalan di atasnya, tiang2 itu akan rubuh. Gelang yang ada di tangan Cica akan menjadi milikku seorang. Sempurna. Thanks oh my God"

Semua berjalan seperti yang direncanakan. Kini Cica tiba di mulut jembatan. Ia berhenti karena teriakan Cico.

"Kau lempar saja nasi itu. Baru kemudian menyeberang".

"Baiklah", sahut Cica.

"Terimakasih atas nasi bungkusnya ya, hati-hati melewati jembatan itu!"

Setengah dari jembatan itu dilewati dengan baik. Memasuki setengah bagian sisanya terdengar bunyi "krak...krak...krak...' dan dalam hitungan detik, rubuhlah jembatan itu. Nyawa Cica pun tak tertolong lagi. Sementara peristiwa itu berlangsung, Cico melahap nasi yang sudah dibelikan Cica. Ia tersenyum. Rasa lapar terusir. Harta kekayan terbentang di depan mata. Tetapi nenek bilang:

"Keberuntungan dapat direncanakan, tetapi maut tak dapat dikekang". Selang 15 menit kemudian, Cico merasa mual dan mual....muntah....dan muntah....darah segar mengalir.....mata berkunang....apa hendak dikata. Ia pun mereganag nyawa. Semua yang diangankan pergi bersama nyawanya melayang.

Apa sebenarnya terjadi, ternyata selama pergi menukar cincin di warung nasi, Cica pun berpikir keras, persis seperti apa yang diangankan Cico. Ia lalu menabur bubuk racun maut dalam nasi yang akan disantap Cico. Keduanya meregang nyawa tanpa ampun oleh hasrat mereka sendiri.

"Jika kau merencanakan kejahatan untuk sesamamu, pada saat yang bersamaan kejahatan juga sedang dirancang untukmu. Demikian juga sebaliknya, jika kebaikan kau rancang untuk sesamamu, maka pada saat yang bersamaan pula kebaikan sedang dirancang untukmu.".

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka [Mat 7:12]

Tulisan ini dibuat oleh: Pastor Eriks Ng Oba (Pastor Paroki 
Baca selengkapnya »
Beranda

Kegiatan OMK